Matahari Terbit Dengan Biasa Saja #cerpen
![]() |
| Kalikatur by: Olink_Print |
Matahari Terbit Dengan Biasa Saja
Oleh: Ahmad Kamil Solihin
Pagi itu matahari terbit dengan biasa saja, langit yang biasa, cuacau pun biasa. Namun, sesuatu yg luar biasa akan terjadi. Pak Soleh bersiap membuka toko sembakonya dipasar Slipi, Jakarta barat. Motor CB 90'annya ia parkir di parkiran pasar, langkahnya mulai
menganyam jalan dari parkiran menuju tokonya.
Dari rumah pak Soleh sudah sarapan. Sepiring nasi sayur kangkung dilengkapi tahu goreng
dilahapnya dengan nikmat, sebelum berangkat pak Soleh pamit ke istrinya. Istrinya mencium tangan pak Soleh, pak Soleh pun membalas dengan kecupan yang ia daratkan di kening istrinya.
"Pah... Susu adek tinggal dikit, minggu depan juga karim harus bayar SPP" berkata istrinya pada
pak Soleh sebelum pak Soleh berangkat. Pak Soleh tersenyum, "Iyaa, tenang ya nanti papah pulang bawain susu buat adek, klo buat SPP karim In Sya Allah ada uangnya" pak Soleh menjawabnya dengan senyum, lalu berangkat.
Rak-rak dirapihkan, permukaan-permukaannya dilap dengan bersih. Wadah-wadah beras dibersihkan, kemudian diisi dengan beras yang berbeda-beda, sesuai dengan jenisnya, lengkap dengan bandrol harganya yang pak Soleh tulis sendiri di atas karton. Mulai dari delapam ribu rupiah sampai dua belas ribu rupiah. Pak Soleh kembali mengingat betapa lima tahun lalu hidupnya begitu susah, menggelantung dari bis kota satu ke bis kota lainnya. Menjual 'cangcimen' slang untuk singkatan (Kacang, kuaci, permen). Pernah juga ia menjual alat tulis, menjual eskelapa, dan barang dagangan lain. Mengasong adalah cara pak Soleh untuk menghidupi keluarganya, dulu, lima tahun yang lalu.
Kini, pak Soleh sudah menjadi salah satu pemilik saham di toko sembako yg ia dirikan bersama dua temannya. Pak Soleh dan dua temannya patungan mendirikan toko ini. Pak Soleh dipercayai
sebagai orang yang mengoperasionalkan toko, karena pak Soleh yang paling berpengalaman dalam
berjualan selain itu kedua temannya sibuk kerja kantoran.
Namun bagi hasilnya rata, karena toko
ini dibangun atas landasan pertemanan, toko ini berdiri di atas kepercayaan.
Sampai pukul sepuluh pagi toko masih sepi pembeli, paling hanya satu dua ibu-ibu yang membeli bumbu masak ketengan, beras satu kilo dan barang-barang perintilan lain. Sedang tumpukan karung beras kokoh menjulang di sudut kanan bagian belakang toko.
Tiba-tiba "Permisi pak" seorang pria datang ke toko pak Soleh. "Iya kenapa pak?" Tanya
pak Soleh. "Bisa saya beli berasnya untuk satu truk?" Tanya pria tersebut, bagai petir yg menyambar di siang bolong, pak Soleh sedikit tak percaya. "B..bisaa pak, bisa" jawab pak Soleh "Mau beras yang mana ?". "Yg ini aja pak yang dua belas ribu" jawab pria itu. Sudah intan berlian pula, beli beras satu truk harga tertinggi pula, sungguh semesta amat baik hari ini.
"Ini saya bawa dulu satu karung, nanti saya panggil dua teman saya yang di truk, truk saya di parkiran" kata pria itu mengikuti pak Soleh berjalan ke tumpukan karung beras. Pria itu memanggul beras satu karung, pak Soleh satu karung. Dua karung beras dibawa ke mobil truk.
Sesampainya di parkiran, ditaruhnya dua karung beras itu ke dalam truk. "Lek ayokk!!" pria itu mengajak kedua temannya.
Pak Soleh, pria itu dan dua temannya berjalan kembali ke toko. "Jadi
saya mau buka toko sembako di daerah sumatera pak, saya cari di pasar induk sana, beras yg jenis ini rata2 harganya 13-15 rb, saya denger2 di pasar Slipi sini lebih murah harganya" pria itu mencoba
membuka obrolan dengan pak Soleh. "Hmm iya iya, kita belum kenalan pak" dibarengi tawa pak
Soleh mencoba mencairkan suasana. "Nama sampean siapa?" Tanya pak Soleh. "Saya Abdul pak,
sampean ?" Tanya pria itu yg ternyata namanya Abdul. "Saya Soleh pak, nanti kalau mau saya kasih
nomer saya, biar kalau habis pak Abdul bisa nyetok lagi di saya".
"Owh iya baik pak" jawab pak
Abdul dengan senyum.
Setengah jam kurang lebih beras dari toko dipindahkan ke truk. Dua teman pak Abdul
sudah di truk, pak Abdul dan pak Soleh kembali ke toko untuk menghitung biaya total dan penyeleseian pembayaran.
"Total semuanya segini pak" pak Soleh menyodorkan kalkulator kepada pak Abdul. Setelah beberapa saat lalu pak Soleh memainkan jemarinya di atas kalkulator hitam sederhana.
"Owh iyab aik pak, boleh saya minta nomor telepon bapak?" Tanya pak Abdul. Pak Soleh menyebutkan nomor telponnya, pak Abdul pun mencatatnya di ponselnya.
"Okeyy pak, saya ambil uangnya dulu
ya pak, uangnya ada di mobil" kata pak Abdul. Pak Abdul berjalan ke mobil untuk mengambil uangnya.
Pak Soleh menunggu di tokonyas ambil duduk menunggu, barangkali ada pembeli yang datang. Sudah sepuluh menit pria itu tak kembali dari mobilnya. Pak Soleh pun menaruh curiga, tapi sedikit, hanya sedikit pak Soleh masih
menunggu.
Jarum panjang berpindah, sudah enam puluh menit pak Soleh menunggu, kecurigaannya makin besar, tidak bisa kalau menunggu terus, pak Soleh menutup tokonya. Berjalan
ke parkiran, sambil membawa harap ini bukan penipuan, di dalam benaknya curiga dan takut campur aduk, bayang-bayang susu anaknya yang terakhir dan uang SPP anak pertamanya mulai bergentayangan. Rajut demi rajut langkah pak Soleh tenun menuju perkiran, sesampainya di
parkiran mobil itu tidak ada. Mobil yang membawa satu truk beras. Pikiran pak Soleh carut marut, sedih dan nelangsa tergambar di wajahnya.
Hujan gerimis tengah melanda hatinya, kesal marah emosi kecewa, semua campur aduk tak karuan. Apa yang
harus pak Soleh katakan kepada teman-teman pemegang sahamnya ? pak Soleh rugi besar, amat
besar. Lalu bagaimana dengan susu adek ? SPP karim?.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)



0 Comments:
Posting Komentar