Sekolahku Bocor. #Cerpen Irwan Effendi
Sekolahku, Bocor
Cerpen Irwan Effendi*
Temaram cahaya pagi membelah dedaunan hijau, membungkus embun tadi malam, menjatuhkannya kepangkuan tanah basah, sebab dilanda musim tak berkesudahan, seorang gadis kecil ber-erok merah cerah, baju putih, lengkap dengan dasi dan topi yang bergambarkan garuda dikepala. Ia berjalan sangat hati-hati di pinggiran kuningnya pepadian yang terhampar di beberapa petak sawah. Tangannya memegang sepatu merek Att ber-ukuran empat, dan tangan yang satunya memeganngi rok kecilnya, sebab tanah yang dilaluinya sangat berlumpur, dan banyak menggenang air. Gadis kecil itu adalah Anita, dia berjalan seorang diri dengan membawa semangat tinggi dan harapan besar dari rumahnya. Panas dan tanah becek tidak menjadi pemutusnya dalam menuntut ilmu, dia tetap melangkah pergi, meski harus berjalan sejauh tiga kilo meter untuk tiba di sekolahnya.
***
Tepat di piggiran sungai, Anita memakai sepatu dan kaos kaki putihnya. tak lupa dia mencuci wajahnya yang basah sebab keringat yang terus mengalir dari kepalanya, karena keadaan cuaca yang kurang stabil, panas-panas mendung. Membuatnya kelelahan. Kemudian dia kembali melanjutkan perjalanannya. Hingga akhirnya sampai di jalan ber-aspal. Beberap kendaraan berlalu lalang di sana. “Alhamdulillah, sudah hampir sampai,” seru Anita seraya bergegas, sambil memboyong tas pinknya yang bergambar Barbie.
Dari kejauhan, terpandang bendera merah putih berkibar begitu gagah, di bawahnya terpampang sebuah nama dengan bentuk tiga dimensi cukup besar yang sudah berwarna coklat kebiru-biruan dimakan usia. “Tuna Bangsa.” sebuah sekolah dasar yang sudah lama berdiri, dan menjadi tempat pendidikan tertua di desa Anita.
Dia terus berjalan dengan penuh semangat, hingga sampai di depan sebuah gerbang besi berkarat. Dia mengangkat tangan kanannya menyentuh pelipisnya. “Negeriku, aku datang!” serunya dengan senyum mengembang. Setelah itu dia langsung masuk ke dalam., Banyak anak seusianya sedang bermain di halaman dengan pakaian yang sama, ada juga yang berbeda. Terkadang sebagian dari mereka menggunakan sandal jepit Swallow. Tapi Anita tidak heran, karena hal seperti itu sudah lumrah di sekolahnya. Ya, karena memang keterbatasan ekonomi yang mereka miliki.
Melihat anak-anak bermain, Anita langsung mengambil posisi duduk di depan kelas dengan ber-alaskan keramik pecah yang sudah lepas dari tempatnya, sambil memperhatikan anak-anak yang berlarian kesana-kemari dengan riang.
Tiba-tiba seorang laki-laki paru baya keluar dari ruangan Guru, dengan membawa besi dan palu cukub besar. Lelaki itu langsung memukulkan palu ke tubuh besi, sehingga dentingan suara nyaring terdengar dari benturan kedua benda itu. “Teng-teng-teng” tanda bel masuk tiba. Anita berdiri dan bergegas masuk ke dalam kelas. Begitu juga dengan anak-anak yang lain, seketika itu juga suasana halaman sekolah menjadi sunyi. karena semua anak-anak sudah masuk ke dalam kelas mereka masing-masing. Sebuah ruangan kelas ber-ukuran empat kali tiga meter yang atapnya sudah hancur, di bagian tengah terdapat kayu penyangga yang menopang atap-atap triplek di atas sana. Dan dinding-dindingnya banyak yang retak. Sejenak Anita termenung, “Di sinilah tempatku menimba ilmu,” seru Anita. Kemudian dia duduk di bangku barisan paling depan dari kiri. Dari arah yang berlawanan dia mendengar suara rengekan bangku yang dimainkan oleh temannya. Karena memang sudah reyot. Tapi Anita tetap tenang sambil duduk manis menunggu ibu guru Ati, selaku guru pengajarnya.
Tepat pukul tujuh pas, seorang perempuan paruh baya memasuki kelas dengan senyum mengembang.
“Pagi anak-anak!” sapanya masih dengan senyum mengembang.
“Pagi Bu…!” serempak anak-anak menjawab.
“Hari ini cuacanya cukup mendung ya,” lanjut ibu guru Ati sambil mengambil posisi duduk.
“Sekarang musim hujan Bu…!” celetuk salah satu siswa yang duduk di barisan tengah
“Kalau musim hujan kalian harus menjaga…?”
“Kesehatan.” Serentak anak-anak melanjutkan pernyataan ibu guru Ati.
“Jadi kalian harus menjaga kesehatan kalian, agar kalian tidak mudah sakit dan masih tetap bisa belajar bersama seperti sekarang.”
“Iya Bu!” Jawab anak-anak serentak.
“Sekarang kalian tulis dulu apa yang ibu tulis di papan, nanti kita bisa baca bersama-sama,” ujar ibu guru Ati sambil menulis beberapa huruf di papan tulis.
Dengan huruf yang dipisah-pisah antara huruf yang satu dengan yang lain. Semua murid pun mengeluarkan buku dan pensil dari dalam tas mereka masing-masing, begitu juga dengan Anita, dia mengeluarkan buku dan peralatan tulisnya kemudian menulis apa yang telah ditulis oleh ibu guru Ati. Seketika itu juga suasana menjadi hening, tak ada bunyi secuil pun yang mengusik ketenangan di ruang kelas itu, hanya sesekali terdengar suara pensil yang dikerat oleh anak yang lain.
Ibu guru Ati kembali duduk, setelah selesai menulis beberapa pernyataan di papan tulis. Dipandanginya murid-murid satu-persatu yang sedang khusuk menulis, ada juga yang sudah selesai dan langsung membacanya. Beberap langkah ibu guru Ati berjalan menuju tempat duduk Anita yang sedang melempar pandang ke luar jendela.
“Anita, apakah kamu sudah selesai menulis?” Tanya ibu guru Ati. Anita langsung mengalihkan pandangannya menatap ibu guru Ati.
“Sudah Bu” Jawab Anita tenang.
“Apa yang sedang kamu lihat di luar sana?”
“Awan Bu..!”
“Ada apa dengan awannya?”
“Sepertinya akan turun hujan deras” keluh Anita. Ibu guru Ati menatap keluar jendela dan ternyata benar, awan hitam mengental di atas sana.
“Semoga saja tidak turun hujan,” seru ibu guru Ati, kemudian kembali ke tempat duduknya.
Tiba-tiba terdengar rintik-rintik di atas genting yang membuat anak-anak saling pandang. Suara itu semakin nyarig kedengarannya, bukan hanya di atas genting, tapi juga di halaman sekolah. Sebagian anak berlarian menuju jendela untuk memandangi hujan yang semakin deras. “Hore,,,, hujan…! Nanti bisa main air” teriak salah satu anak yang senang dengan turunnya hujan. Ada juga anak yang tidak senang karena waktu pelajaran berlangsung. Kegelisahan mulai menggrogoti ibu guru Ati yang juga memandangi hujan, disampingnya berdiri Anita yang tidak sengaja melihat ibu guru Ati yang gelisah.
“Ada apa dengan Ibu, kenapa ibu kelihatan gelisah?” tanya Anita heran.
“Ibu tidak apa-apa,” jawab ibu guru Ati sambil menghilangkan raut wajah gelisahnya, dan menyuruh murid-muridnya untuk kembali ke tempat duduk dan melanjutkan pelajarannya. Ibu guru Ati menuntun mereka satu-persatu untuk duduk dan membaca tulisan yang ditulis di depan.
“Ikuti setelah Ibu ya..!”
“Iya Bu,” jawab anak-anak serentak.
“Di-se-ko-lah”
“Di sekolah”
“A-ku, be-la-jar”
“Aku belajar”
“A-ku, pu-nya, ba-nyak, te-man”
“Aku punya banyak teman”
“Se-ko-lah, ku”
“Sekolahku”
“Tu-na, Bang-sa”
“Bocor, Bu!” teriak Anita. Membuat anak-anak yang lain memandanginya. Begitu juga dengan ibu guru Ati, dia segera menghampiri Anita yang sedang mengusap buku tulisnya.
“Ada apa Anita?” tanya ibu guru Ati
“Bocor, Bu..!”
Ibu guru Ati melihat buku tulis Anita yang basah, membuat tulisannya memudar dan tak dapat dibaca. Seketika itu juga ibu guru Ati menatap ke atas genting dan benar, beberapa titik air menetes dari celah genting yang pecah di atas sana. Dengan cepat ibu guru Ati menggeser bangku Anita ke tempat lain yang tidak bocor, dan kembali melanjutkan pelajarannya.***
Annuqayah, 2020
Penulis
* Lahir dan besar di Batuampar Sumenep, menulis Cerpen dan Puisi, sekarang tercatat sebagai Mahasiswa INSTIKA Guluk-Guluk Sumenep Madura, dan nyantri di Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa Utara.



0 Comments:
Posting Komentar