Jejak Sendu #cerpen Nofita Sari

 







Jejak Sendu

Nofita Sari


Cermin adalah kejujuran, tak ada dusta di dalam sana. Ia menampakkan yang sesungguhnya tanpa efek mapun filter yang akan membuat objek terlihat lebih indah bahkan lebih buruk. Tidak, cermin tidak demikian. Cermin lah paling jujur. Wanita itu, menatap cermin lekat. Mendekatkan wajahnya hingga berjarak sekian cm. Dari dulu ia percaya, bahwa cermin adalah kejujuran baginya. Cermin menggambarkan sebagaimana gambar yang tergambar di hadapannya.

Dari ujung kepala hingga ujung kaki, ia perlihatkan sekujur tubuhnya pada cermin itu. pipi merona,bulu mata lentik, bibir bergincu, wajah yang sempurna dengan polesan make up. Rambut atas terikat rapi, bagian bawah dibiarkan tergerai hingga hampir sampai pinggang, terdapat beberapa bunga di sela-sela.  Tangan dengan jemari lentik diwarnai, kuku tak dibiarkan putih. Kaki pun demikian. Tubuh yang terbalut gaun indah semakin membuat auranya tampak lebih cerah. Begitulah gambaran yang ada di cermin itu, sebagaimana yang terdapat di hadapan cermin. Bahwa cermin tak pernah berbohong.

Kemudian wanita itu duduk. Ia meraba wajah yang kin tampil dengan sangat istimewa. Entah apa ynag terjadi, kelopak matanya sudah basah sejak tadi. Sejak ia menyadari bahwa ssat ini ia tampil begitu cantik, menawan, dan mempesona. Bukan itu yang ia tangisi. Bukan perihal kecantikan di hadapannya. Ia telah kecewa pada cermin yang telah membohongi dirinya. Ia kesal terhadap cermin yang telah membohonginya. Ia merasa telah dibohongi oleh cermin itu. 

“Tok…tok…tok…” seseorang telah mengetuk pintu ruang pribadinya, memanggilnya dengan ramah. “Romlah, ayo cepat keluar nak, para kerabat dan tamu undangan sudah berdatangan.” Ia lekas menjawab agar pemilik suara di luar sana tak masuk ke dalam ruangan itu, “Iya bik, sebentar lagi selesai”. Wanita yang dipanggil Romlah oleh suara d balik pintu, mulai menjauhi cermin. Ia berjalan menuju arah pintu. Memegang gagangnya, memutarke kiri. Pintu itu sedikit ditarik, wajahnya melongo pada keadaan di luar sana. Hiasan dinding di sana-sini, ucapan restu tertempel mana-mana. Ia merasa ngeri dengan keadaan di luar. Pintu ditutupnya kembali, kunci yang sudah sejak tadi menggantung, diputar ke kanan. Ia pastikan, tak akan ada lagi orang yang bisa mengganggunya.

Ia kembali di hadapan cermin tadi. Memaki-maki seakan ingin menerkam. Sesuatu telah bergetar di belakangnya. Ya, itu adalah getaran yang berasal dari sebuah handphone. Ia segera meraihnya, menggeser warna hijau ke kanan.

“Apa kabar adik ?” suara dari sebrang telvon mengejutkannya ketika nama yang tertera pada panggilan masuk barusan adalah nama pemilik nomor yang telah pernah blokir nomornya beberapa bulan sebelum ini. 

“Mas Hev?” spontan suaranya langsung tampak girang ketika menanyakan kebenaran si pemanggil. “Ini Mas Hev, kan?” dia masih saja menimpali pertanyaan yang sama ketika si penelpon tak lagi bergeming.

“Mas Hev ke mana saja selama ini ?” Ia masih terus bertanya meski taka da jawaban dari lawan bicara di telpon. 

“Mas Hev, aku merindukanmu. Aku menunggu janjimu. Aku menunggu kedatanganmu. Aku menunggu kau buka blokir nomorku,” Pada kalimat ini, matanya tampak berkaca-kaca, 1 kalimat lagi, dipastikan tangisan itu akan pecah. 

“Mas Hev sudah lupa padaku ?” kali ini, ia benar-benar menangis. Tersedu-sedu. Kegirangan yang datang barusan hanyalah sebagai opening percakapannya dalam sebuah telpon. Si penelpon tetap diam tak bersuara, semacam tak memperdulikan suara tangis dalam telpon yang digenggamnya.

“Adik…” Suara dalam talpon tadi muncul kembali. Sesegera mungkin ia menghapus air mata yang terlanjur membasahi pipinya.

“Iya Mas…?” kali ini suranya tampak lirih. 

“Mas Hev jemput aku ya sekarang, intinya sekarang. Ayolah Mas Hev…” suaranya memelas, tangisannya makin tersedu. Sementara di seberang telpon sana tak tampak respon apa pun. 

“Mas Hev… jangan diam saja. Ayo jemput aku. Mas…” kali ini suaranya sedikit keras, sesegera mungkin ia menutup mulutnya. Tak peduli pada lipstick yang memberi warna di bibirnya. Ia tak peduli pada riasan di wajahnya. Air matanya terus menerus merusak polesan make di wajahnya. 

“Adik… ada apa denganmu?” suara di seberang telpon muncul kembali.

“Jemput aku sekarang ke rumah Mas!” ia berteriak keras. Tak peduli pada gaun yang mempoles tubuhnya, ia remas-remas, diajadikannya gaun itu sebagai lap pada basah wajahnya. 

Sementara di balik pintu, sudah sejak tadi beberapa orang menggedor-gedor. Ia tak pedulikan itu, ia tetap meraung. Menangis keras. Memaki pada pada orang dalam telpon itu, memintanya untuk menjemput, mengeluarkan dari pesta meriah di luar.

           "Adik... ada apa denganmu ? Mengapa berteriak sekeras ini ?" Kali ini suaranya tampak khawatir. "Adik...?" Ia memanggil lagi. Tak ada respon, hanya terdengar teriakan dan semacam sesuatu yang dipecahkan. "Adik..Adik...adik..." Memanggil terus menerus meski tak ada respon. 

           "Aku tak mau tahu, Mas Hev harus jemput aku sekarang juga!" Suaranya tampak jauh. Semacam pembicara berada di kejauhan dari handphone itu. 

           Sementara di sebuah kamar, keadaan sudah sangat berantakan. Cermin yang menampakkan kecantikannya kini telah terurai. Serpihannya bertabur di sana. Cermin berukuran panjang 1,5 meter dan lebar 60cm telah dipecahkan. Dengan beberapa pukulan oleh tangannya. Beberapa serpihan tertancap di bagian tubuhnya. Menusuk, memberi luka, menguras darah dari dalam tancapannya. Terlebih jemarinya. Kini hiasan Hena pada tangannya sudah berbau dengan warna merahnya darah. Gaun putih cemerlang oleh beberapa manik telah ternoda oleh darah. Tak ada yang tahu keadaannya di dalam sana. Dari luar pintu terus terusan menggedor. Suara di telepon terus saja memanggil. Ia tak menggubris. Kali ini sebilah kaca dipegangnya erat oleh tangan sebelah kiri. Diremas. Dan darah itu terus membasahi lantai. 

           Di seberang telpon, seseorang di sana telah menduga-duga perkara kejadian di sana. Panggilannya yang tak digubris, suara pecahan beling, teriakan keras, bahkan gedoran pintu pun ikut berbaur. 

             Kali ini ia mencoba memanggil kembali "Adik... adik... iya ini Mas Hev... ada apa denganmu adik ?"

             "Jemput aku Mas, sekarang!" Suaranya tampak melemah, tertatih seperti dieja perkata. 

            "Tapi adik lagi di mana ? Sedang apa ?" Ia seperti bergegas menyusulnya. 

            "Aku lagi di neraka Mas... Mas... Mas..." Setelah panggilannya yang terakhir, suara di seberang telpon mulai sepi. Hanya terdengar suara gedoran pintu dan teriakan orang banyak. Ia menatap "Oh adik... ada apa sebenarnya dengan dirimu?".

          Telpon mati, dan ia mengacak-acak messenger masuk sejak beberapa bulan lalu yang tak pernah dihiraukan. Tak pernah dibaca. Tak pernah ingin tau isinya apa. Kali ini, ia banting Handphone nya setelah membaca keseluruhan pesan. Ada pesan terakhir yang setelah itu tak disusul pesan yang lain "Aku akan dinikahkan dengan dia Mas. Cepat jemput aku. Tepati janjimu. Aku tak akan pernah sudi menikah dengan dia. Jangan sampai keduluan maut yang menjemput hidupku dari pada engkau yang menjemputku menuju bahagia". 

Pesan terakhir itu. Kali ini handphone nya dilempar ke sembarang tempat. Dalam pikirannya telah teedapat praduga-praduga pada kejadian di sana. Ia memaki dirinya sendiri. Menyalahi dirinya sendiri.

             Sementara pada sebuah pesta meriah, ada mayat dalam kamar pengantin yang penuh akan darah. Bau anyir yang menyengat memenuhi isi ruangan. Tak ada putri cantik yang akan diijab qobul, tak ada gaun menawan yang membalut, dan tak ada pesta dalam kericuhan. Di sana hanya tersisa banyak kejadian yang disesali.




Biografi Penulis

Nofita Sari, gadis desa kelahiran Kota keris di ujung pulau Madura. Lahir pada 19 tahun yang lalu sejak cerpen ini ditulis. Pernah Nyantri di Pondok Pesantren Nurul Islam Karangcempaka Bluto Sumenep selama 6 tahun. Di tahun 2015, ia sudah menggeluti dunia kepenulisan. Mulai dari catatan hariannya yang ditulis, hingga cerita-cerita pendek seputar imajinasinya. Saat ini, penulis sedang menempuh pendidikan di kampus IAIN Madura dengan program studi Bahasa Arab. Untuk menambah kesibukannya, ia bergelut dalam beberapa organisasi. "Khairunnas anfauhum linnas" adalah tujuannya selama berjalan di atas bumi.

Contak person. 

Wa: 081916890658

Email: nofitasari2210@gmail.com

Instagram: Nofitasari2210






0 Comments:

 

2013 © khoma

Designed by | Irsah inDesigns Copyright © 2013
Supported By | Blogr Templates and Themes

Domain + Hosting | Unlimited Web Host