Profil Whatsapp#cerpen#Novitasari

Olink print. Design

Profil Whatsapp
Nofita Sari
Jam menunjukkan pukul 02.14 WIB dini hari. Dan aku bangun pada jam segini dengan tanpa isyarat. Bukan karena mimpi buruk atau bahkan mimpi basah. Tidak, bukan karena itu. Ini perihal kebiasaanku sejak orang tua menitipkanku di sebuah pesantren. Kisaran jam segini aku diharuskan telah buka mata dan sesegera mungkin menggelar sajadah. Sekarang hari kamis, sesuai rutinitas, sehabis ritual ibadah malam, aku dan beberapa teman kost yang lain terbiasa makan sahur 30 menit sebelum adzan subuh berkumandang. Namun saat ini, tubuhku merasa malas, begitu enggan untuk bangkit dari bantal yang kubilang sangat tidak empuk. Aku masih otak atik layar handphone. Sekali-kali memandangi beranda Facebook, pindah pada beranda instagram, dan menetap di beranda whatsapp.
Beberapa orang telah terbangun. Dan sejak membuka mata hingga saat ini, aku sudah 34 menit menghabiskan waktu yang seharusnya beberapa rakaat sudah terlaksana, dan aku masih tiduran dengan malas. Satu per satu dari yang lain telah berada di atas hamparan sajadah milik mereka. Dan aku masih saja sibuk dengan layar handphoneku.
Beberapa pesan Whatsapp masuk bergilirian, ada chat teman yang hanya mengisi ruang chat dengan menanyakan tugas kuliah, ada chat yang hanya berisi tentang basa-basi menanyakan kabar, bahkan chat dari berbagai grup turut memenuhi beranda whatsappku. Aku membukanya satu persatu. Menjawab sebagaimana jawaban yang mereka butuhkan. Di antara sekian chat, entah aku tak habis pikir dengan satu chat ini, "Fotomu sendiri kok tidak pernah dijadikan profil whatsapp, Dev?". Sebuah pertanyaan yang tidak terlalu penting untuk dijawab menurutku. Namun bagaimanapun juga, yang namanya pertanyaan tetaplah membutuhkan sebuah jawaban. Aku menjawabnya singkat "Aku tidak punya foto bagus untuk dijadikan profil whatsapp." Meski pada kenyataannya alasan tersebut tidak benar menurut versiku sendiri.
Berbicara mengenai profil whatsapp, membuat otakku memutar balik kejadian satu minggu yang lalu. Ketika ibu memarahiku atas dasar profil whatsapp. Di suatu siang, ibu di rumah menelpon. Dengan spontan, beliau bertanya profil whatsappku. Padahal, ia sendiri tidak tahu menahu apa itu whatsapp.
"Lagi di mana, Dev?" Suaranya spontan saat setelah mengucap salam di seberang telepon.
"Di kost, buk. Tumben ibuk nelpon siang? Sudah datang kerja tah?" Aku memulai basa-basi yang biasa dipakai di awal percakapan.
"Profil whatsappmu sekarang apa?" Tanpa menjawab pertanyaanku, dan beliau malah menanyakan profil whatsapp. Padahal, whatsapp saja ia tak tahu cara kerja aplikasinya.
"Kenapa buk kok bertanya tentang profil whatsapp?" Keganjalan percakapan ini membutuhkan kejelasan.
"Tadi pagi dosenmu yang di kampus ke sini. Katanya survey keadaan rumah untuk seleksi beasiswa," nada bicara ibu tampak sedikit cuek. Ia berhenti sejenak, dan aku memiliki ruang untuk berbicara.
"Oh iya, buk. Devi lupa kabarin ibuk. Tapi pagi Pak Dosen memang mengabari Devi bahwa survey akan dilaksanakan hari ini." Aku menjawab dengan nada sedikit kaget
"Iya. Tadi dosenmu tanyak ke ibuk, kamu ikut aliran apa?," kali ini nada suara ibuk lebih cuek dari sebelumnya
"Loh kok bisa bertanya demikian buk? Apa hubungannya beasiswa dengan aliran?" Aku panik, meski aku sama sekali tak merasa ada yang salah dengan diriku sendiri.
"Gara-gara profil whatsappmu itu. Ngapain kamu pasang profil whatsapp wanita bercadar yang sedang memanah?"
"Memang apa masalahnya dengan profil itu buk?" Aku semakin tidak paham, ketika profil whatsapp yang dijadikan sebuah permasalahan.
"Dosenmu berpesan. Jangan sampek kamu ikutan aliran ekstrim yang bercadar seperti itu. Katanya di kampusmu itu melarang wanita memakai cadar?"
Aku diam. Aku tak tahu harus menjawab apa. Hingga akhirnya ibuk menutuo telepon, dan aku masih saja tercengang.
Aku tersadar dari lamunanku mengingat kejadian 1 minggu lalu. Kini jam sudah menunjukkan pukul 03.20 WIB. 50 menit lagi adzan subuh akan segera berkumandang. Dan aku masih saja menatap layar handphone beranda whatsapp yang penuh dari berbagai yang telah kujawab. Aku tergesa menon-aktifkan data seluler. Meletakkan handphone di atas bantal. Dengan sesegera mungkin mengambil peralatan shalat, menghamparkan sajadah di antara barisan sajadah teman-temab yang lain. Mereka sudah menyiapkan sarapn untuk sahur. 10 menit lagi adalah waktu sahur bagi kami. Dan aku masih belum melaksanakan 1 rakaat pun shalat malam. Aku berwudhu, dengan kecepatan yang tidak biasanya, aku segera memasang mukenah, memulai takbir, membaca bacaan shalat dengan tertib dari awal hingga akhir. Usai mengucap salam pertanda shalat selesai, teman-temanku mengajakku makan sahur. Duh ada penyesalan dari dalam diriku. Aku baru menyelesaikan 1 salam shalat malam, dan harus mengakhirinya karena keterbatasan waktu untuk sahur.
***
Siang ini terasa sangat panas. Entah karena aku sedang berpuasa, atau memang cuaca yang membawa ketidaknyamananku istirahat siang. Hari ini aku tak ada kuliah. Aku di kost saja tak ke mana-mana. Meski teman-teman mengajak ke luar untuk mengerjakan tugas kuliah berkelompok, aku memilih mengerjakan tugas sendiri di dalam kost. Bukan karena sedang berpuasa, namun mood yang tak bersahabat memilihku berdiam tak ke mana-mana.
Hari ini adalah pengumuman beasiswa. Aku ikut daftar dalam beasiswa ini. Tahap demi tahap, uji demi uji telah aku lewati. Hari ini adalah pengumuman yang menentukan berhak tidaknya mahasiswa menerima beasiswa. Prasangkaku masih baik. Dan aku begitu yakin, Tuhan pasti berbuat baik padaku. Aku memiliki optimis yang tinggi bahwa aku akan menjadi di antara mahasiswa yang beruntung dalam meraih beasiswa ini.
1 notifikasi pesan chat masuk. Yah, ini adalah moment yang sangat ditunggu oleh para pendaftar. File pdf yang berisi lampiran pengumuman kelulusan beasiswa segera aku download. Terasa sangat lama dalam proses download karena aku tak sabar melihat namaku terpampang pada deretan nama mahasiswa yang lulus beasiswa. Setelah proses download selesai, aku segera klik file tersebut, lalu tampillah 200 nama terpampang di sana. Perasaan takut bercampur aduk, aku mulai mencari namaku. Menelusuri satu per satu dengan teliti. Mencari deretan nama prodiku terlebih dahulu. Lalu kuteliti namaku di sana. Tidak ada. Aku meneliti lagi, menelusuri dari angka 1 hingga angka 200. Dan sudah ketiga kalinya aku mencari. Hasilnya tetap sama. Tidak terdapat namaku di sana. Mataku mulai basah. Dan dering handphone memaksaku mengurungkan air mataku jatuh. Namun, melihat nama seseorang yang menelponku dalam suasana ini, aku sama sekali tak ingin berbicara dengan siapapun.
"Dev, hari ini pengumuman beasiswanya kan?" Suara di seberang telephone membuatku semakin terisak. Dan aku tetap menyembunyikannya.
"Iya buk," aku berusaha menjawab setenang mungkin.
"Gimana Dev? Kamu lulus, kan?" Nah, di pertanyaan ini, aku sangat ingin menghindari jawaban dari pertanyaan ini.
"Tidak, buk" dan isak tangisku mulai terdengar oleh ibuk. Aku tak kuasa menahannya. Ketika harapan besar yang kulambungkan hilang begitu saja.
"Oh ya sudah, mungkin belum rezeki. Sudah jangan nangis," Ibuk menenangkanku yang semakin terisak. Sementara aku, tak ada kata-kata yang mampu untuk aku lontarkan.
"Hmm... mungkin dosenmu salah paham dengan profil whatsappmu itu. Dikira gambar itu adalah fotomu sendiri. Padahal ibuk sudah menjelaskan bahwa itu hanya gambar bukan fotomu." Ah foto profil whatsapp lagi yang menjadi pembahasan. Aku muak dengan pembahasan satu ini.
"Dosenmu mengira, kamu telah ikut aliran ekstrim hingga memakai cadar dengan memgang sebuah panah. Ia tidak menyurvey rumah, melainkan membicarakan profil whatsappmu itu."
Aku tak paham dengan keadaan ini. Ketika profil whatsapp yang menjadi alasan atas ketidak beruntunganku. Padahal sama sekali tanpa alasan aliran aku menggunakan gambar itu.
Usai ibuk mengakhiri panggilan, aku segera membuka beranda whatsapp. Langsung mengubah peraturan profil di sana. Aku menghapusnya. Kini profil whatsappku kosong tanpa gambar. Aku tak mengerti lagi, hanya dengan profil whatsapp, orang lain bisa menilai dengan seenak jidat.


0 Comments:
Posting Komentar